<strong>PADA 1998, seorang perempuan berusia sekitar 22 tahun datang ke kantor Liana Christanty, 52, dengan raut muka bingung dan lelah. Si perempuan mengaku sedang hamil akibat diperkosa saat tak sadarkan diri dalam perjalanan menuju Surabaya. Ia tak berani pulang.
"Saya bisa bilang dia jangan aborsi karena bagaimanapun, anak itu berharga di hadapan Tuhan. Tapi, tindakan apa selanjutnya? Kan dia sendiri bingung. Lalu, kami bawa ke rumah sakit. Kebetulan bayinya besar, 3,5 kg. Setelah dia melahirkan, orang kampungnya datang menengok tetapi menolak kehadiran bayi itu di kampung karena dianggap aib. Sementara, ibunya sendiri boleh pulang," tutur perempuan kelahiran Jember, 16 April 1959, itu kepada <i>Media Indonesia di Jakarta, Kamis (8/12).
Liana tak bisa memaksa agar si bayi turut dibawa pulang ke kampung. Ia kemudian membawa pulang dan membesarkan bayi tersebut ibarat anak sendiri.
Itu tidak terjadi sekali saja. Satu waktu, ia pernah mengurus lima bayi sekaligus yang ditinggalkan orangtua mereka. Yayasan Pondok Hayat yang didirikannya saat itu belum memiliki tempat khusus untuk merawat anak-anak yang ditelantarkan ibu mereka.
"Saya ingat pada saat itu, saya harus mengantarkan kelimanya untuk divaksinasi. Satu bayi diletakkan di kursi samping saya menyetir, empat bayi lainnya duduk di belakang bersama satu pembantu. Kalau sakit pas malam hari, kami harus bangun dan bergegas ke dokter," kenang perempuan berambut ikal yang bermukim di Surabaya, Jawa Timur, itu.
Liana tak kapok. Satu per satu perempuan datang ke tempatnya untuk meminta pertolongan. Tak hanya yang berasal dari Surabaya dan sekitarnya, Liana pun didatangi perempuan dari luar kota, bahkan luar Pulau Jawa. Kebanyakan berlatar kelas menengah ke bawah, meski ada pula yang berpendidikan tinggi. Kedatangan mereka ke tempat Liana pada umumnya karena kesadaran sendiri, tetapi beberapa ada yang dijemput Liana karena kondisi kejiwaan yang tak layak.
"Saya pernah diberi tahu seseorang, ada wanita hamil yang sakit jiwa. Saya kejar dia sampai ke kuburan. Ya, enggak apa-apa daripada mereka tidak diurus. Jangan sampai mereka melahirkan di jalanan karena anaknya bisa tidak jelas dikemanakan," tuturnya.
<b>Bukan akhir
Sekarang, sekitar 500 perempuan sudah ditolongnya. Saat mereka menginap di tempatnya, Liana menyiapkan sejumlah kegiatan, dari tugas rumah tangga hingga keterampilan lain seperti menyulam, potong rambut, dan pijat refleksi.
Kebanyakan perempuan hamil tersebut memang tidak memiliki pekerjaan untuk menopang hidup kelak setelah melahirkan. Liana juga menyediakan sesi konseling sebagai tempat curhat dan melarang penggunaan ponsel di rumah penampungannya.
"Ponsel dititipkan kepada kami. Boleh digunakan dengan pengawasan, supaya mereka tidak lagi menelepon pacar-pacar mereka, enggak berzina lagi," lanjut Liana.
Ia menerapkan aturan itu dengan pasal, sebab masih ada beberapa yang jatuh lagi ke lubang yang sama. Jika sudah hamil di luar nikah untuk kedua kalinya, Liana tidak menerima perempuan itu dalam tanggungannya. Pertolongan pertama seharusnya sudah bisa menjadi pelajaran. Jika terus ditolong, ia khawatir mereka bisa menjadi kebal.
"Makanya, kami selalu mengampanyekan <i>no free sex. Bukan hanya karena takut tertular penyakit kelamin, melainkan lebih dari itu. Efek mentalnya lebih besar lagi, baik pada ibu maupun anak," jelas Liana.
Biaya operasional untuk kegiatan sosial tersebut, diakui Liana, tidaklah kecil. Pendanaan datang dari donatur--individu dan organisasi--juga inisiatif perempuan hamil yang ia bantu yang berasal dari keluarga mampu. Namun, tidak ada kewajiban donasi bagi keluarga menengah ke bawah.
Liana memberitahukan kondisi perempuan yang ia bantu kepada keluarganya, apalagi jika usia si perempuan kurang dari 17 tahun.
"Kami juga pernah menampung perempuan hamil, baru berusia 13 tahun. Tujuannya agar keluarga datang mengunjungi. Tapi ada pula yang tidak memberi tahu keluarga, mungkin karena malu," kisah Liana.
Tantangan paling besar, diakuinya, ditemui saat berhadapan dengan para perempuan yang menyalahgunakan kepercayaan. "Tapi tetap ada yang menunjukkan niat memperbaiki diri. Sekarang ada yang sudah berani tampil lagi. Ada yang jadi guru, penyiar radio," kata Liana.
Itu, tambahnya, membuktikan, meski mereka pernah berbuat salah, hal tersebut bukan akhir segalanya.
<b>Sejak muda
Kepedulian Liana terhadap kehidupan di sekitarnya sudah dimulai sejak muda. Ia sering kali mengajak anak jalanan ke rumah untuk berbagi makanan atau dimandikan.
Menurut dia, sifat tersebut subur berkat kecintaannya pada kehidupan. "Saya ini pencinta kehidupan. Anak itu tidak berdosa, yang berdosa itu ibu dan pria yang menghamili ibunya," cetusnya.
Kepekaan sosial ini didukung suami dan keempat anaknya. Meski keluarganya tidak banyak terlibat, beberapa ide kegiatan sosial justru datang dari anak-anaknya.
Salah satunya menyediakan pendidikan bagi anak-anak telantar yang kini jumlahnya mencapai 36 orang, tersebar di tiga rumah. "Anak yang ditolak sejak dalam rahim itu punya <i>sense tertolak. Harus terus dipeluk sampai rasa tertolaknya hilang. Percaya atau enggak, bayi yang tertolak kadang wajahnya sedih," ujar Liana.
Ia juga berusaha jujur kepada anak-anak yang ia rawat mengenai latar belakang mereka. Saat usia mereka cukup, ia jelaskan siapa dan asal mereka. "Saya enggak ingin nutupin situasinya dari mereka. Saya yakinkan bahwa mereka punya saya sebagai ibu mereka," pungkasnya. (M-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar