Jumat, 11 November 2011
Menjadi puncak rukun Islam adalah saat umat sudah bisa melaksanakan ibadah haji. Artinya, ibadah haji adalah ibadah yang nilai pahalanya tinggi. Maka, bukan menjadi hal yang mengherankan saat di telinga kita sering terdengar perkataan bahwa haji semata karena panggilan Tuhan. Belum tentu orang yang melimpah hartanya digerakkan hatinya untuk bisa berhaji. Namun, tak sedikit umat yang kesehariannya hanya menjual daun pisang bisa naik haji karena dijalankan Tuhan. Ini karena, haji adalah ibadah yang nilainya besar di mata Tuhan, syarat dan rukunnya pun tak mudah untuk dipenuhi. Selain harus memiliki uang banyak (baca: di Indonesia lebih dari Rp 30 juta) juga harus dijalankan di Tanah Suci (Makkah). Dalam pelaksanaannya pun harus berpanas-panas, berhimpit dengan sekalian banyak orang, berlari-lari dan lain sebagainya. Kendati demikian, syarat dan rukun yang tertera dalam ajaran haji belumlah seberapa dibandingkan dengan tuntutan untuk menjadi haji yang mabrur. Padahal, haji mabrur adalah haji yang akan dinilai oleh Tuhan sebagai haji yang berpahala. Tanpa adanya predikat kemabruran, haji yang dilaksanakan dengan banyak biaya dan beratnya menjalankan syarat serta rukun hanya dianggap sebagai wisata layaknya pergi ke gunung, pantai atau objek wisata lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis, "Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia, atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya." Dari sepenggal hadits tersebut, dapat menjadi dasar betapa dalam berhaji tanpa adanya niatan khusus memenuhi panggilan Tuhan dipastikan tidak akan mendapatkan derajat mabrur. Menilik jumlah jemaah haji Indonesia yang selalu membludak setiap tahunnya, hingga jarak pendaftaran dan pelaksaan sampai sembilan tahun, serta kesejahteraan umat tidak terjamin, menunjukkan betapa haji yang dilaksanakan tidaklah semua menjadi haji yang mabrur. Tanda-tanda haji yang mabrur salah satunya adalah semakin shalih-nya seseorang seusai menjalankan ibadah haji. Ke-shalih-an tersebut harus bersamaan antara shalih kepada Tuhan (vertikal/hablu minallah) maupun shalih kepada sesama (horizontal/hablu minannas). Di banyak tempat terdapat umat Islam yang telah melaksanakan ibadah haji. Dalam kesehariannya dirinya hidup mewah dengan menjalankan ibadah dengan baik. Namun, begitu orang seperti ini tidak langsung diklaim sebagai seorang yang hajinya mabrur selama di samping rumahnya masih terdapat anggota masyarakat seiman, tanpa bisa merasakan manisnya hidup. Mereka setiap hari harus memeras keringat dan membanting tulang (dalam artian bekerja kasar) untuk memenuhi kebutuhan primer diri dan keluarganya. Dalam setiap harinya belum tentu mereka dapat memakan nasi karena ketiadaan harta untuk membeli. Dalam pada itu terdapat banyak cerita terkait haji, entah kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, perlu mendapatkan perhatian dan perenungan. Suatu saat terdapat pejabat negara yang menjalankan ibadah haji. Saat dirinya melempar jumrah, batu yang digunakan untuk melempar selalu kembali kepadanya. Berulang kali dirinya melempar, namun selalu kembali kepada dirinya. Setelah dirinya mengamati batu yang dilemparkan ternyata terdapat tulisan Arab yang indah. Dengan riang hati dirinya membawa batu tersebut dan setelah sampai ke negara asalnya dirinya menanyakan bacaan dan maksud tulisan yang ada dalam batu tersebut. Secara singkat, batu tersebut bertuliskan yang artinya "sesama setan dilarang melempar.' Kisah yang lain, terdapat seorang yang sudah ingin menjalankan ibadah haji. Namun begitu, dirinya membatalkan niatan sucinya karena kondisi ekonomi tetangganya yang sangat membutuhkan hidup. Biaya yang sudah disiapkan untuk menjalankan ibadah haji dengan ikhlas dipersilakan untuk keperluan tetangganya yang begitu membutuhkannya. Dirinya tidak pernah mengungkit-ungkit uang yang telah digunakan tetangganya. Hari berganti hari dan berjalan hingga masa pulang haji pun tiba. Saat itulah terdapat sahabat orang yang batal menjalankan ibadah haji. Teman tersebut mengucapkan perkataan aneh, karena dirinya mengucapkan selamat atas kemabruran hajinya. Karena, merasa diri belum menjalankan ibadah haji, dirinya hanya bisa tersenyum. Tidak cukup sampai di situ, sang sahabat juga bercerita panjang lebar saat dirinya menjalankan ibadah haji banyak bersama dengan dirinya. Orang yang tidak jadi berangkat haji tersebut semakin bingung karena cerita temannya. Bagaimana bisa sahabatnya bisa mengatakan bahwa dirinya banyak bersama dengannya, padahal dirinya tidak jadi pergi ke Makkah, menjalankan ibadah haji? Dan, betapa seorang yang tidak jadi menjalankan ibadah haji karena biayanya digunakan tetangganya yang lebih membutuhkan, insya Allah sudah dicatat oleh Allah sebagai haji yang mabrur. Maka, dari sinilah perlu menjadi perhatian bersama bahwa dalam berhaji mesti berlandaskan niat tulus karena Allah. Pergi haji benar-benar memenuhi panggilan Tuhan bukan memenuhi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar